Photobucket
  • Gedung Pondok Pesantren Modern a-Istiqomah.
  • Berpose bersama bapak pimpinan dan dewan mu'allim.
  • Para Petarung Nurani.
  • Berpose bersama bapak pimpinan dan dewan mu'allim.
  • Berpose bersama bapak pimpinan dan dewan mu'allim.
  • Event Art Paling Akbar.
  • Siap Tempur Dalam memerangi angkara murka.
  • Para santri akhir 2008 bersama Ust Saad Ibn Taba.

Tentang Kita dan Menulis


Masih banyak ternyata orang yang menggap bahwa menulis adalah budaya orang-orang berpendidikan, aktivitas yang mungkin hanya dilakoni oleh mahasiswa, dosen, atau guru. Saya pun juga sempat berpikir demikian, bahkan lebih parah lagi, saya meyakini bahwa menulis adalah bakat. Dengan artian bila anda tak berbakat maka anda tak akan bisa menulis.

Cara pandang itu akhirnya menemukan jawaban. Semuanya termentahkan saat saya menyaksikan rekaman video Launching karya FLP Hongkong. Taukah anda siapa mereka yang telah menghasilkan karya itu ? ternyata bukan mahasiswa S1, bukan pula dosen yang sedang melanjutkan studi S2.
Mungkin anda tak akan percaya bila saya katakan, bahwa mereka yang telah melahirkan karya tulisan itu, adalah para buruh migran, pembantu rumah tangga, TKI, yang status sosialnya kerap dipandang sebelah mata. Hal ini semakin lenegaskan bahwa menulis bukan hanya budaya kaum akademisi, bukan pula bakat bawaan, tapi ia adalah ketrampilan yang terus diasah.

Ada pesan tersirat yang sebenarnya ingin disampaikan dari video tersebut, bahwa semua kita sejatinya bisa menulis. Siapa yang akan membantah ? siapa yang akan mengelak ? bila ada yang berkilah kemudian beralasan bahwa memang kita tak berbakat menulis, maka tanyalah berbakat siapa anda dengan buruh migran itu ? bila masih ada yang berkata tidak mampu sebab minim pengalaman. Lihatlah penulis cilik umur 7 tahun itu, berpengelaman mana anda dan dia ?

Problemnya adalah, maukah kita melalui proses yang menjenuhkan itu ? berlama-lama depan layar komputer, (ups komputer bro…bukan tulis tangan, saya baru ingat, buruh migran itu pakai tulisa tangan). Kemudian menorehkan kata demi kata, saat dilihat kembali perasaan berkata lain, tak cocoklah, jelekalah, dst…tulisan itu pun di hapus dan memulai kembali. Bosan memang, jenuh pasti, tapi bila kita tak melakukan itu, maka kita akan ditertawakan oleh kawan-kawan buruh migran, seraya mengejek kita. “Bahwa anda tak lebih pandai dari buruh migran$2C dan anda tak cukup lihai merangkai kata dari anak usia 7 tahun”.

Selesai menonton “pertunjukan” buruh migran itu, saya pun tertawa riang dan gembira. gembira bukan kepalang, sebab kini saya mempunyai alasan untuk memulai aktivitas menulis ku. Anda tahu kenapa, sebab menulis tak memerlukan modal banyak toh, buruh migran saja bisa. Berarti logikanya kita pun bisa jauh lebih bisa.

Dahulu saya pernah mengikuti kegiatan pramuka, mendaki gunung yang sangat tinggi. Sebab postur tubuh saya yang memang kecil, saya pun pesimis bisa mendaki gunung itu, satu persatu kawan saya minta untuk naik lebih dulu. Sampai pada akhirnya ada kawan yang lebih kecil dari saya, menaiki gunung yang curam itu dengan santai. Melihatnya, saya pun kemudian bersemangat sebab teman tadi adalah tolak ukur saya, toh dia yang jauh lebih kecil bisa mendaki gtnung itu masa saya tak bisa, begitu gumam ku dulu. Dan kini hal serupa sedang diperlihatkan oleh kawan-kawan buruh migran tadi. Bila mereka yang dahulunya tak mengerti sastra, yang tak kenal motivasi menulis, yang tak tahu merangkai kata, bisa. Masa kita yang konon berstatus mahasiswa tidak bisa ?.

Pertanyaan selanjutnya sudah berapa waktu yang kita sisikan untuk membaca dan menulis disela-sela aktivitas kita. Sebab kembali mengambil contoh buruh migran tadi, mereka menyisakan satu minggu sekali hanya untuk menulis, itu pun sebab waktu rehat mereka hanya di hari libur itu, maka kesempatan itu tak disia-siakan untuk menulis. Dikorbankan rehat bada, tak ada acara jalan-jalan untuk sementara waktu, semua saking mereka menggap penting soal menulis, lantas bagaimana dengan kita. Ah sepertinya terlalu naif saya mengambil perbandingan, sebab sedari awal saya hanya mengambil buruh migran itu sebagai barometer, tapi apakah kita memang selemah mereka dalam kwalitas menulias ? hmmmm….

Oleh :  Fahry Elkilary, Penulis adalah sekretaris FLP Sulteng.
*